Kafe Solo Citos Jakarta

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Other
Location:Lantai 1 Citos, Jakarta.
Sebenernya rasa lapar udah menyerang dari sejak meeting di Subud, Fatmawati. Untung aja abisnya si boss ngajak makan di Citos. Tadinya kirain mo ke Kafe Victoria, tempat langganan keluarganya Ness buat ngumpul, or else alike. Tapi ternyata boss ngajak kita buat ke Kafe Solo, tempat yang gw tau agak nyempil di sebelahnya Thai Express, deket-deket Aksara Bookstore di lantai 1.

Oh well, pengalaman baru toh? Betul sih, cuma gw gak nyangka kl si boss lagi kangen makanan kampung halaman (kampung halaman kedua, btw). So, singkat kata kitapun nyampe di lokasi dengan cepat. Citos jam makan siang belumlah se gila kala matahari mulai terbenam...

Kafe Solo memiliki suasana yang etnik, dengan interior yang didominasi nuansa kayu dan warna-warna cokelat. Di dinding kafe sedang terdapat beberapa lukisan yang dipajang dalam rangka eksebisi. Yang mengejutkan, tempat ini cukup ramai pengunjung. Padahal tadinya saya gak ngira kalau ada banyak pengunjung yang malah nyari makanan tradisional kala ke pusat gaul macem Citos. Tapi yah memang bisa dilihat dengan jelas kalau yang mampir kesini rata-rata dari kalangan eksekutif, atau orang dewasa yang penampilannya kalem, dan bukan ABG2 nge-jreng yang banyak menghiasi gerai lainnya.

Menu yang ditawarkan tidak asing, diantaranya Nasi Gudeg, Nasi Liwet, Soto Ayam, dan Sayur Rawon. Tertarik oleh gembar-gembor sebagai menu favorit, dan kerinduan akan kuah rawon yang pekat tajam dengan rasa keluwak, akhirnya terpilihlah menu "Rawon Buntut" (~40k), dan segelas "Es Beras Kencur" yang sudah lama juga nggak saya nikmati.

Es Beras Kencurnya datang duluan, karakter rasanya menurut saya terlalu manis dan kurang "jamu", tapi cukup nikmat dan mengobati kerinduan saya atas minuman tradisional yang satu ini.

Dari kubu makanan, yang pertama kali datang adalah Gudeg. Dari segi penampilan cukup menarik karena warna-warnanya yang matang, mengesankan makanan dengan rasa yang mantap. Yang satu ini gak saya cobain karena saat itu lagi rada gak berselera ama gudeg. Yang ada, saya nyobain Soto Ayam nya temen, yang ternyata rasanya cukup enak, terutama karena ada irisan-irisan tipis kentang yang digoreng cukup garing diatasnya. Khas Solo? Entahlah, yang pasti topping kentang ini gak banyak ditemui di jenis soto dari daerah lain yang banyak dijual, dan hanya ada di tempat khusus saja, termasuk di rumah sendiri. My mom yang dulu tinggal lama di Malang cukup ahli masak makanan ala Jawa, makanya standar benchmark saya di jenis makanan ini cukup tinggi.

Ketika akhirnya Rawon Buntutnya datang, yang pertama saya coba adalah kuahnya, pasti. Kuahnya ternyata cukup tajam, khas rasa keluwak yang agak asam pahit, dan kaldu yang gurih. Sayangnya, selain dari beberapa potong daging buntut, tidak ada sayur-sayuran yang biasanya membantu menambahkan karakter rasa pada makanan jenis ini. But anyway, rata-rata Rawon yang saya temui di Jakarta pun gak memakai sayur, alias hanya daging. Padahal kalau standar di rumah kami, Rawon pasti memakai sayur berlimpah, dan pasti ada keluwak yang masih setengah pecah yang biasanya menjadi rebutan antara saya dan bapak (ibu mengalah).

Sebagai topping standar memang ada tauge pendek, dan telor asin yang cukup matang, walau belum bleeding bagian kuning telurnya. Sambalnya kurang pedas dan nendang sehingga hanya memberikan sensasi lemah saja. Daging buntutnya, sayangnya, tidak cukup empuk untuk bisa dinikmati maksimal. Hal ini berakibat tidak efektifnya sendok dan garpu yang mereka sediakan, dan saya harus kembali mempergunakan alat multiguna yang selalu saya bawa (pakai) kemana-mana: tangan telanjang. Setelah di grip dengan baik oleh jari-jari tangan dan dipotong memakai gigi, barulah daging buntut yang dimaksud bisa dikuasai. Tentu terlihat rada barbarik oleh tamu lainnya, but so... does it seem like I care?

He he

On overall, bisa dibilang cukup oke; makanan-makanan yang dicoba tidak ada yang gagal, walaupun rawon buntutnya masih perlu teknik pengolahan daging yang lebih canggih. Di menu juga sebenarnya ada beragam penganan bubur-buburan yang sayangnya waktu itu semuanya absen. Price-wise? Harga antara 25K - 45K dengan porsi sedang, membuatnya jatuh dalam price scheme standar kafe di mall, gak ada nilai lebih. Saya pribadi akan lebih memilih untuk mencari hidangan sejenis di tempat yang lebih merakyat, tidak terlalu prestigius macam di Mall dan Kafe. Tapi buat mengobati kerinduan? Boleh deh...

Nah, sekarang, ada yang bisa nyaranin tempat makan tradisional Jawa yang enak di Jakarta?

1 comments:

iwan yuli said...

Wah ini juga yg sedang kucari =))

Appearances