Food Note: Kalua

Pernah denger penganan manis namanya Kalua? Jangan disamakan dengan Kahlua yang Coffee flavored liqueur itu ya, karena "Kalua" ini bukan dari jenis minuman keras. Makanan keras sih mungkin, dan bukan karena terkait kadar alkoholnya, tapi karena untuk menikmatinya memang harus dikunyah.

Kalua ini kalau di tatar Sunda, adalah nama dari sejenis manisan buah kering. Bahan bakunya beragam, tapi yang paling sering dipakai adalah labu, waluh, pepaya, dan kulit jeruk bali! Variant kulit jeruk inilah yang palng banyak dipakai untuk jenis Kalua komersil, yang banyak dijual di daerah Pangalengan, Bandung Selatan. Sedangkan untuk produksi rumahan, biasanya menggunakan bahan lainnya yang sudah disebutkan tersebut sebelumnya. Penampakan akhirnya rata-rata sama; potongan buah kering keriput dengan lapisan gula yang mengeras dipermukaannya. Jadi sensasi tekstur rasanya juga seru: keras di permukaan, tapi lembut pejal di bagian dalamnya.

Penggunaan jenis gulanya sendiri biasanya terbagi antara gula putih, dan gula merah. Jika jenis gula putih kemudian banyak dicampur dengan pewarna (merah, hijau, dll.) untuk membuat penampilan yang lebih meriah, maka variant gula merah biasanya tampil as it is; coklat keruh, mirip tampilan gula merah itu sendiri.

Antara satu jenis Kalua dengan lainnya, biasanya terdapat kesamaan tekstur dan rasa manis, hanya saja berbeda-beda sedikit dalam hal aroma aftertaste nya. Dari semua variant, maka variant kulit jeruk balilah yang biasanya paling harum, sedangkan variant labu atau waluh biasanya tidak memiliki karakter aroma yang cukup kuat. Pepaya? Karena tingginya kadar getah, maka biasanya yang paling "becek" diantara jenis-jenis lainnya.

Kalau dikategorikan dalam hal kesehatan, penganan yang satu ini dengan suksesnya termasuk dalam kategori "sinful pleasure", terutama karena kadar gulanya yang sangat tinggi itu. Tapi buat mereka yang rada-rada gilagula, perpaduan rasa manis, harum lembut aroma buah, dan tekstur yang keras di kulit tapi legit di dalemnya itu yang biasanya bikin nagih. Even setelah masa-masa gilagula penulis sudah jauh lewat, maka untuk penganan yang satu ini biasanya masih perlu kontrol ekstra, karena jika tidak maka niscaya satu keler Kalua bisa dihabiskan sendiri, dan ini berarti masalah besar untuk kesehatan...

Untungnya buat penulis (dan ruginya buat para penjual), penganan yang satu ini secara komersil masih sangat tidak berkembang karena sifatnya yang cenderung cepat berjamur, jadi ketemunya cuma setahun sekali atau dua kali, saat berkunjung ke rumah saudara yang juga membuat penganan ini pada saat-saat khusus saja. Sedangkan pasokannya di toko-toko oleh-oleh tradisionalpun, hanya banyak di daerah Pangalengan, bahkan di Bandung sekalipun masih sangat jarang. Semoga nggak bener-bener hilang total dari pasaran saja... soalnya sayang kalau potensi kuliner khas seperti ini sampai punah... (bay)

0 comments:

Appearances