Showing posts with label bahasa. Show all posts

Menikmati Waffle ala Hong Kong di Lapangan Niti Mandala Renon

Bagi yang penasaran dengan Waffle ala Hong Kong, di seberang Lapangan Niti Mandala Renon sekarang Eggie Waffle buka food truck setiap malam, dan kalau hari Minggu plus pagi-pagi. Waffle ala Hong Kong ini berbeda dibanding waffle tebal empuk bersiram sirup yang biasa ditemui, karena Hong Kong Waffle ini memiliki terstur garing dan renyah di luar, dan tidak disiram sirup tapi memiliki isi yang beraneka macam sesuai pilihan.

Pilihan variasinya beragam, mulai dari pilihan rasa wafflenya, hingga ke pilihan isinya. Selain dari Hong Kong Waffle, Eggie juga menjual minuman coklat, baik yang dingin maupun panas. Adapun kisaran harganya sendiri cukup terjangkau antara Rp. 10.000 dan Rp. 20.000.

Kalau datang ke sini Minggu pagi, jangan lupa pakai pakaian santai dan lebih asik lagi kalau sekaligus berolah-raga, atau sekedar menonton aksi para muda-mudi Denpasar yang tumpah ruah di saat car-free hours ini. (byms)






Bersantap bersama singa di majalah Tiger Tales Tigerair Mandala

Jika makan di pinggir pantai atau di tengah area persawahan sudah mulai terasa biasa bagi anda, bagaimana dengan makan ditemani hewan buas? Kebun Binatang Bali (Bali Zoo) menawarkan kesempatan ini melalui restoran "Okavango" yang berlokasi tepat bersebelahan dengan wilayah para Singa Afrika berkeliaran.

Ingin tahu bagaimana rasanya? Baca tulisannya di sini: http://www.epicurina.com/articles/13-published/45662-on-the-menu-lions-that-lunch-tiger-tales-mandala

(byms)

Trend Locavore Ubud Bali di Tiger Tales majalah inflight Mandala Airlines

Bepergian dengan Mandala Air bulan Juli 2013 ini? Jangan lupa buka halaman 18 untuk informasi mengenai trend Locavore; mengonsumsi makanan yang tumbuh, dibudidayakan, atau diproduksi secara lokal, di daerah Ubud, Bali, persembahan Epicurina.

Ada tiga restoran yang dibahas, pertama Warung Bodag Maliah nya Sari Organik, yang hanya bisa ditempuh berjalan kaki di pematang sawah selama 10 menitan (atau numpang ojek); kedua Plantation Restaurant di Alila Ubud Hotel yang menyajikan aneka hidangan internasional dengan kadar muatan lokal hingga 95%; ketiga Warung Pulau Kelapa yang banyak dibicarakan oleh para penikmat kuliner profesional, termasuk pak Bondan Winarno dan William Wongso.

Artikel selengkapnya bisa dibaca online di sini (web), atau di sini (pdf). (byms)



Semarak Kuliner Bali di Linked majalah inflight Citilink

Bepergian dengan Citilink bulan Mei 2013 ini? Jangan lupa buka halaman 50 untuk highlight mengenai jajan kuliner andalan Denpasar terkini, persembahan Epicurina.

Menyesuaikan dengan target tulisan yaitu wisatawan nusantara (wisnus), jadi dipilihkan makanannya yang cocok di lidah dan perut masyarakat Indonesia, sekaligus tidak memberatkan kantong karena rata-rata yang dibahas di sini adalah kuliner kelas streetfood (jajanan pinggir jalan), atau restoran casual:



(byms)

Food Note: Telur Asin Asap

Jaman dahulu kala, yang gw inget dari telur asin adalah statusnya sebagai staple food dikala bepergian. Mau itu bersama lontong ataupun going solo, statusnya tetep, kalau mau jalan jauh atau piknik, atau kemping, maka telur asin ini harus ada!

Namun seiring waktu, kebiasaan itu sendiri lambat laun semakin berkurang, dan akhirnya menghilang...

... atau masih ada yang disuguhin telur asin plus lontong instead of McD kalau lagi darmawisata?

(Membayangkan acara outing kantor di Dufan, dan semua asik ngunyah telur asin dan lontong...)

Namun walaupun konsumsi nasional mungkin menurun, tapi penggemar makanan unik yang satu ini tetep ada, dan para juru masakpun tak henti-hentinya muncul dengan inovasi. Hal ini tak lain, karena aroma dan tekstur telur asin yang cenderung unik. Tidak se-unik Telur Pitan (Century egg), tapi karena itu pula lebih mudah untuk di padu-padankan dengan aneka masakan, salahsatu yang paling ngetop adalah Udang Telur Asin.

Dari sisi produsen, baik teknologi maupun cara pengolahan telur asin cenderung tidak berkembang banyak mungkin dalam limapuluh tahun terakhir. Namun demikian, salahsatu inovasi dalam hal pengolahan sesekali muncul misalnya seperti yang banyak dipraktikkan sekarang ini, yaitu dengan melakukan proses pengasapan di akhir proses produksi. Dan masyarakatpun kemudian mengenal satu varian baru makanan ini, yaitu Telur Asin Asap.

Dari segi penampilan, makanan yang satu ini memiliki ciri adanya karakter warna marbling kecoklatan pada kulit telur. Beberapa masih memiliki warna dasar biru, sedangkan lainnya ada yang coklat penuh sehingga memiliki kemiripan dengan telur pindang.

Sistem penjualannya, biasanya di toko-toko diletakkan di dry storage, dalam bentuk kemasan satu pak tapi boleh dibeli satuan.

Dari segi rasa, spesimen yang gw temui di Carrefour (gara-gara nyokap penasaran pengen beli), ternyata memiliki kualitas yang baik. Rasanya nggak terlalu asin, dan terdeteksi adanya aroma smokey yang lembut. Lucu juga soal aroma ini, karena setelah diperhatikan betul-betul sepertinya nyaris nggak ada perbedaan rasa dengan telur asin biasa, hanya saja penambahan aroma tersebut membuat sensasi kenikmatannya cukup berbeda. Apalagi nuansa aroma smokey nya ini terus terbawa hingga ke tahap aftertaste. Yang rada mengherankan, karakter aroma smokey nya ini justru lebih kuat di bagian kuning telurnya, dan cukup mengubah karakter rasa keseluruhan dari si kuning telur tersebut. In a good way surely.

Dijual dengan harga sekitar 3K, agak sedikit saja lebih mahal dibandingkan telur asin biasa, rasanya telur asin asap ini cukup menarik untuk variasi.

Jadi penasaran pengen nyobain juga telur asin asap yang grade-nya lebih bagus daripada punyanya Carrefour... (bay)

Image dari: http://telurasinasap.blogspot.com/ - websitenya Elmata, salahsatu produsen telur asin asap di Solo.

100% Halal

Menyambung percabangan thread dari topik ini.

100% Halal

Banyak kita jumpai di pusat-pusat keramaian umum, restoran-restoran yang memasang tulisan "100% halal" sebagai embel-embel atas nama restorannya. Alternatif lain, adalah "Halal" saja tanpa kata "100%", namun varian pertama lebih banyak dipakai karena faktor bombastis nya.

Faktor bombastis...?

Secara kaidah bahasa dan hukum, "Halal" itu kalau tidak 100% ya bukan halal namanya! Yang berarti penambahan kata "100%" didepan "Halal" adalah sesuatu yang redundant -- hal yang gak perlu, dan cuma berfungsi sebagai hiperbolisme.

Namun terlepas dari kerancuan dalam pemilihan kata tersebut, yang perlu kita perhatikan lebih serius adalah klaim itu sendiri. Benarkah makanan yang dijual di tempat-tempat tersebut terjamin kehalalannya?

Tanpa bermaksud untuk berburuk sangka terhadap para penyedia jasa restoran, pertanyaan mendasar dalam hal ini adalah... "Seberapa kompeten kah para pengusaha restoran dalam menentukan masalah
kehalalan?". Ini yang perlu kita cermati bersama.

Halal dan Haram

Kehalalan suatu makanan adalah sarat utama dari laik atau tidaknya suatu makanan di konsumsi oleh kaum muslim (penganut agama Islam). Kata "Halal" berarti dibolehkan atau diperkenankan, sedangkan kata "Haram" berarti sebaliknya. Dan dalam penentuan halal-haram ini, diambil beberapa patokan yang bersumber dari kitab suci Islam Al-Qur'an, hadist-hadist shahih, dan pendapat para ulama.

Tanpa beranjak pada pembahasan mendetail mengenai halal-haram, jika kita kaitkan dengan kebiasaan hidup masyarakat modern yang banyak melibatkan kegiatan makan di tempat-tempat umum, maka masalah kehalalan ini menjadi suatu hal yang ambiguous. Jika kita bisa meneliti sendiri kehalalan dari makanan yang tersaji di rumah, maka tidak demikian halnya dengan makanan di tempat umum atau di restoran. Hal ini
menimbulkan masalah pada keduabelah pihak; kepada konsumen, apakah hidangan yang mereka santap terjamin kehalalannya? Dan dari sisi produsen, apakah klaim yang mereka buat memang bisa dipertanggung-jawabkan?

Sebenarnya buat seorang konsumen muslim, karena keterbatasan-keterbatasan teknis yang ada dalam hal makan di restoran, maka ia bisa menilai sendiri suatu masakan yang akan ia santap itu halal atau tidak berdasarkan informasi yang ia dapatkan mengenai makanan yang tersaji. Contohnya, kalau penjual menyatakan bahwa makanan yang akan ia santap tidak mengandung daging babi, mengandung hanya daging ayam, sayuran, nasi, serta makanan tersebut dihidangkan warung milik penduduk pribumi suku Betawi, maka besar kemungkinan makanan itu halal dan laik santap.

Sedangkan pada level pengusaha, untuk bisa mempertanggung-jawabkan klaim yang mereka buat, maka sebaiknya ada pihak yang berkompeten untuk menguji soal klaim kehalalan ini. Hal ini diperlukan karena sifatnya yang terkait dengan masyarakat luas, jadi memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi lagi. Pertama, dalam kebenaran dari klaim itu sendiri, dan kedua, dalam masalah hukum...

Barangkali masalah kehalalan ini melibatkan bahan-bahan makanan yang sulit dikenali kehalalannya secara fisik? Misalnya apakah dalam saus yang ia pakai ternyata ada bahan-bahan yang dinilai tidak halal? Semisal
Hoka-Hoka Bento yang tersandung MUI karena ada "saus misterius" yang dinilai mengandung khamar (minuman keras)? Atau kasus salahsatu produsen MSG bbrp tahun lalu yang dinyatakan haram karena ada unsur yang meragukan, padahal ia tidak memakai bahan2 yang langsung berasal dari hewan babi? Who knows...? Maka dari itu, kalau untuk level usaha yang melayani masyarakat luas, biasanya diperlukan bantuan pihak ketiga untuk menguji (dan memberikan konsultasi) soal kehalalan dari produk yang mereka pasarkan.

Self-Claim?

Kembali ke permasalahan diawal, lantas bagaimanakah kasusnya dengan restoran-restoran atau tempat makan yang mengklaim kehalalan menunya namun dilakukan atas dasar self-claim?

Dalam kasus ini, restoran2 yang memasang label "100% halal" tapi berdasar pada self-claim, sebenarnya mereka berada pada wilayah abu-abu...Di satu sisi mereka menunjukkan niat baik untuk menyediakan
makanan yang berstatus halal, namun di sisi lain mereka belum tentu memiliki ahli yang bisa menjamin klaim ini... Selain itu, mereka juga rentan terhadap tuntutan secara hukum kalau ternyata ada bahan2 tidak halal (yang diluar pengetahuan mereka) turut tercampur dalam makanan yang mereka jual. Maka dari itu pada beberapa kasus, restoran lebih suka memasang label "no pork" atau "tidak mengandung babi", karena hal
ini lebih bisa mereka pertanggung-jawabkan secara hukum dan moral. Sedangkan dari sisi konsumen, kalaupun si restoran memasang "100% halal" namun tanpa dukungan sertifikasi resmi, sebenarnya konsumen tetep berada pada kondisi "eat at your own risk". (bay)

Sumber Hidangan

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: European
Location:Braga, Bandung
Tempat makan ini mungkin adalah satu-satunya tempat tersisa di Bandung yang masih meninggalkan suasana Bandung Tempo Doeloe. Betapa tidak, begitu menginjakkan kaki di toko ini, kita serasa kembali ke masa silam dan masuk ke film-film nya Roy Marten / Yessy Gusman saat rambut gondrong berjambul masih trend, dan mobil favorit penjahat adalah Toyota "Hardtop". Hal ini terjadi karena atmosfer ruangan yang terasa uzur, dengan warna yang kusam, foto-foto hitam putih, dan etalase-etalase antik yang terasa menyimpan banyak misteri ('cailee!).

Sebenarnya bangunan ini berasal dari masa yang lebih tua lagi, yaitu sekitar tahun 1920-an, saat Bandung masih memiliki elit sosial kaum pendatang bangsa Belanda yang saat itu rajin nongkrong di klub Concorde, yang bermarkas dekat dengan bangunan Hotel Savoy Homann.

Selain dari ciri-ciri ruangan tadi, semua kue dan roti yang dijajakan di toko inipun memiliki nama yang asing (kecuali mungkin bagi mereka yang sekarang sudah menyandang gelar "oma" dan "opa"). Sebut saja Krenten (Roti Kismis), Bitterballen (Butter Balls?), dan Marsipan (Bolu bersalut gula lembek)...

Krenten disini memiliki karakter roti yang agak alot, sehingga butuh usaha lebih untuk memakannya. Rasanya sendiri agak mirip dengan roti jagung, atau roti berserat kasar lainnya. Walhasil, rasanya beda dengan roti kismis yang biasa ditemui. Harganya? Sekitar 2000 rupiah.

Roti krim kejunya berupa roti pipih panjang dengan olesan krim manis dan parutan keju Edam ("keju ayam"). Enak, tapi hati-hati buat yang cuma biasa makan keju Cheddar nya Kraft, karena keju Edam rasanya agak tajam dan anyir. Roti ini dijual lebih mahal dibandingkan roti jenis lain, sekitar 3000 rupiah.

Bitterballen nya memiliki rasa mirip ragout untuk mengisi risoles, dengan kulit yang renyah. Cemilan ini cenderung adiktif, apalagi jika dimakan saat masih panas... Ada beberapa ons di etalase makanan panas, namun untuk pembeli dalam jumlah banyak (diatas dua ons), biasanya koki akan membuat yang baru, sehingga pelanggan mendapat yang masih fresh . Biterballen ini dijual berdasarkan berat, harga satu ons nya 2800 rupiah.

Marsipan adalah salahsatu kegemaran saya dan adik. Penganan andalan Lubeck (Jerman) ini dulu adalah hal yang saya benci karena "bau" dan rasanya yang aneh, namun sekarang rasa yang saya benci ini malah jadi hal yang bikin nagih, dan selalu saya cari kalau ke Bandung. Agaknya selera seseorang akan berganti seiring pertambahan usia ya?

Waktu kunjungan kemarin kita mencoba juga cake yang namanya "Amandel". Agak miris terdengar di kuping, namun ternyata rasanya sih nggak seperti namanya... manis dan berkarakter rasa mirip Marsipan, dengan cacahan kacang dan lain-lain. Cake nya padat, jadi cukup mengenyangkan.

Selain dari makanan tersebut, mereka juga menyediakan aneka ragam kue, pastry panas, fruit taart, roti-rotian, termasuk roti tawar buatan sendiri, dan roti buaya (berdasarkan pesanan). Sebagai teman roti, mereka menjual juga aneka ragam meses, mulai dari yang rasa coklat, framboos, citrus, dan jeruk. Ada juga selai pindakas (kacang tanah), dan semuanya buatan sendiri.

Bagi penggemar coklat, Sumber Hidangan menyajikan juga aneka ragam penganan manis ini, mulai dari bolu pejal berisi selai dengan ujung coklat, coklat isi noga (gula kacang), isi bolu, isi putih telur yang dipanggang, hingga coklat isi rhum. Semuanya dijual dengan harga rata-rata dibawah 5000 rupiah perbuah, kecuali coklat isi rhum yang dijual berdasarkan berat.

Dan jika kita bermaksud untuk langsung menyantap kue-kue tersebut, atau sedang menanti Bitterballen nya matang, kita bisa menunggu di ruangan sebelah yang sekaligus berfungsi sebagai restoran. Restoran yang selalu lengang ini menyajikan aneka hidangan lokal dan yang agak ke Belanda-belandaan, mulai dari sate ayam, gado-gado, aneka nasi goreng, hingga ke steak dan sosis babi (hati-hati kalau memesan). Jika ingin mencoba yang unik, coba Nasi Goreng Tomatnya. Rasanya tidak ada restoran lain yang punya Nasi Goreng Tomat seperti disini.

Untuk minuman, mereka memiliki aneka ragam es krim yang mereka buat sendiri. Untuk variasinya pun macem-macem, ada yang dihidangkan dicampur noga kacang, buah, atau sirup coklat. Kalau mau yang lebih ringan, mereka punya sorbet juga.

Berbeda dari toko makanan umumnya, Sumber Hidangan tutup di hari Minggu! Nah masalahnya, 90% waktu saya ke Bandung adalah hari libur, alias Sabtu dan Minggu... Untuk menambah rumit masalah, tempat ini dulu masih memiliki kebiasaan unik warisan kaum Londo, yaitu... tutup pada jam tidur siang! Mereka akan menutup bisnis pada jam satu atau dua siang, untuk kembali buka di sore hari sekitar jam 5, dan kemudian mengakhiri bisnis pada jam 7... Tak jarang saya nyampe sini saat papan-papan penutup toko mulai dipasang. Atau makan di restorannya sementara mereka mulai menutup pintu penghubung toko dan restoran.

Untungnya dalam kunjungan kemarin ada kabar gembira bahwa mereka sekarang buka nonstop dari pagi hingga malam. Minggu tetap tutup dan jam tutup malam tidak nambah, tapi paling nggak ini lonjakan yang berarti.

Dalam waktu dekat akan dibangun Braga Walk, dengan lokasi sekitar seratus meter dari Sumber Hidangan. Mungkin kelak daerah ini akan lebih hidup dan Sumber Hidangan akan mempertimbangkan untuk buka juga di Hari Minggu....

Atau benar kata gosip bahwa yang punya gak butuh duit dan cuma iseng jualan kue?... Hmm... We'll see... (byms)

Appearances