Jenis-Jenis "Cut" Daging untuk Steak


Copyright: http://www.thailand-travel.net/index.cfm?menuid=98.


Berikut
ini sedikit informasi mengenai jenis-jenis cut (potongan) daging untuk
steak. Masih in English... Perlu diterjemahin ke Bahasa Indonesia nggak?


(...)


As local cattle are not of the US
hybrid kind (which wasn’t bred for tropical climates), and as less
grain is fed to the cattle, Thai beef commonly is leaner than US beef and the meat has thinner fibers. As it is leaner, local beef also is less tender than US beef. How tender a steak is going to be can be judged from the appearance of the piece. If it is well marbled
it will most probably be more tender than less marbled cuts. A number
of first-class grill restaurants therefore show the cuts to the guest
before cooking.



Beef is imported to Thailand not only from the US but also from Australia and New Zealand. US beef, however, is considered the best quality. It is also more expensive than beef from Australia and New Zealand.



Eating out for steaks in Bangkok’s first-class restaurants requires some more knowledge on terminology
than eating out for steaks in the US or continental Europe. This
situation results from the fact that the cuisine (and terminology) of
the first-class restaurants in the Thai capital is oriented to the
diverse nationalities of the foreign co-owners who might be European or
American. American as well as French and other continental designations
for steaks are found on menus.



Prime cut
is an American designation that has nothing to do with the place a
steak has been cut from the carcass of the cattle but with the quality
of meat in general. Prime cut is best quality, and in the case
of beef it mainly means that it contains enough fat. Prime cut steaks
are well marbled with fat. Second choice quality is called choice cut and third quality is utility cut which is generally not used for steaks.



A New York cut on the contrary
has nothing to do with the quality of the meat but with the location of
the meat on the carcass. A New York cut is a slice of meat from above
the ribs without the bone but with an edge of fat. In French, such cuts
are called entrecote, and in England and Germany they are named rump steak. If the New York cut comes rather from the back section of the animal, and if it is prepared with the rib bone, it’s called a sirloin steak.



The name sirloin has a funny origin. It dates back to England of the seventeenth century. There, King Charles II
(1630 to 1685) once was served such a delicious piece of beef loin that
he immediately conferred the title "Sir" on that piece of meat.
Allegedly it was a cut that today is called sirloin.



The meat below the ribs is called tenderloin in American terminology, and filet
in continental Europe. The tenderloin is the most tender part of the
beef, and unlike the parts from above the ribs and spinal cord, it is
mostly served cleaned (stripped of fat edges).



Chateaubriand
is a special French way of serving tenderloin for two persons. In that
case, a double portion of the tenderloin is prepared in one piece and
only then cut in rather thin slices at the table of the guest.



Characteristic of US cuisine are steaks that are served with the bone. The above mentioned sirloin steak is such a cut. More common, however, than the sirloin are the T-bone steak and the Porterhouse steak. Between the last two, there is only a small difference. In both cases the entrecote and the filet
are not separated from the spinal cord and ribs. T-bone and Porterhouse
cuts therefore always include a piece of entrecote and filet, or in
American terminology, of the New York cut meat and the tenderloin.



Some local restaurants serve sizzling
steaks. In that case, the steak is served on a very hot iron plate,
mounted an a board. There is some sense to it (or there was,
originally): if a steak is grilled over fierce heat the meat fibers contract and the juice is extracted
into the space between the fibers. If the steak is served directly
after being grilled over fierce heat, the meat juice that still is in
between the fibers appears as blood leaking from the steak as if the meat wasn’t aged at all. But if the steak is granted a rest
of some five minutes after being grilled over fierce heat the juice
goes back inside the fibers and there is no more "blood" leaking. But
as the steak cools down while resting it makes sense to serve it on a
hot plate.



This consideration, however, seems of no importance to the local steak houses that serve the meat on hot plates. The steaks are not given a rest before being served, and they wouldn’t need it in most cases anyway as they are grilled well-done (the rest is only needed for rare or medium steaks, mostly for the rare).



Whereas sauce with steaks is
uncommon in the US, filet steaks are served with a sauce in French
cuisine. Most famous with filet steaks is the French pepper sauce; other sauces are Bernaise (butter sauce) or Cafe de Paris sauce (with herbs).



Some restaurants that serve their steaks sizzling
pour a sauce or gravy over the steak and onto the hot plate; the sauce
then not only starts to boil but also to splatter. The most expensive
part of the dinner may then be the lady’s blouse and not the meat.





0 comments:

Bogor Tour 2003, Bagian Terakhir

Kali ini cuplikan terakhir dari Bogor Tour di tahun 2003, melanjutkan bagian ketiga









Sabtu 30 Agustus 03





Bogor Tour, Bagian Terakhir.



Malam hari, lepas Isya.



Setelah beres membungkus sambel, rempeyek kacang, dan Gepuk Karuhun
yang tersisa, kami lalu berkumpul lagi di ruang depan untuk
membincangkan langkah selanjutnya. Seperti rencana awal, malam hari itu
kami akan makan malam bersama di salah satu tempat yang dianjurkan
Yohan. Alamak... saya masih bisa mengingat dan merasakan seberapa
kenyangnya saya waktu itu.




Dan tampaknya sebagian peserta pun sudah angkat tangan. Hanya beberapa
peserta dengan 'endurance' yang super saja, yang masih mendukung acara
makan malam tersebut. Walhasil untuk aman nya maka diambil jalan tengah
dengan memilih tempat hang-out yang bisa untuk bersantai saja, sambil
menikmati suasana malam Bogor yang semakin sejuk. Pilihan jatuh kepada
Cafe Dedaunan yang terletak di kompleks Kebun Raya Bogor. Fbs


beserta isteri mohon diri terlebih dahulu karena masih ada acara dan masih capai setelah perjalanan dari Yogya siang hari nya.




Cafe Dedaunan

Kebun Raya Bogor


Cafe Dedaunan memiliki nuansa yang eksotik. Sepanjang jalan masuk
Kebun Raya hingga tempat parkir, jalanan diterangi oleh obor-obor yang
berbaris rapi, langit dihiasi bintang yang bertaburan, dengan Mars yang
terlihat mencolok, dalam posisinya yang sempat membuat gempar
masyarakat umum beberapa waktu lalu, dan mengakibatkan Planetarium TIM
kehilangan beberapa elemen teleskopnya yang berharga, selain dari
kaca-kaca yang pecah oleh hysteria pengunjung.




Cafe ini terletak ditepi danau buatan yang asri dan luas, dengan tiga
lantai mezanine dimana pada bagian paling bawah terdapat beberapa
pemain musik dengan alunan lagu yang merdu. Disini kami memesan pisang
bakar dan beberapa minuman, sambil Adi menghabiskan sisa cerutu yang
belum selesai dinikmati.




Pisang bakarnya cukup enak. Standar pisang bakar keju minus kacang yang
banyak terdapat dimana-mana, dengan pilihan pisang tanduk yang baik,
dan topping yang cukup melimpah.... tapi lamanya minta ampun! Kecepatan
penyajian nampaknya merupakan titik lemah dari cafe ini, disamping
harga yang sedikit overpriced tanpa didukung kualitas yang memadai.
Nampaknya memang tempat ini lebih menjual suasana dibandingkan makanan.




Setelah cukup lama menunggu pesanan yang tidak kunjung datang, kami
lalu beranjak menuju tempat pemberhentian terakhir untuk tur malam itu,
yaitu Lontong Kari...




Ada satu tempat yang Yohan sarankan untuk dicoba, dan pada saat kami
sampai kesana untungnya masih buka, sementara kedai-kedai di
sekelilingnya rata-rata telah tutup.




Lontong Kari nya sederhana, tanpa tambahan bahan yang aneh atau unik,
tapi rasanya paten... niat mencicipi pun akhirnya berakhir dengan
menghabiskan seporsi full... entah kemana larinya rasa kenyang yang
tadi mengganggu.. he he




Akhirnya, setelah hidanggan terakhir tersebut dengan berat hati kami
harus berpamitan, menutup satu hari panjang yang luarbiasa. Adi dengan
stamina super nya pulang ke Bandung malam itu juga (walau ternyata
sempet tidur di deket pintu tol), sementara saya, mbak Tiwi, Santi, dan
Anna banyak terdiam dalam perjalanan pulang ke Jakarta... kenyang berat
maan....




Thanks so much buat Yohan dan keluarga, suatu pengalaman dan kenangan
luar biasa yang sulit dilupakan. Sampai bertemu lagi di tour-tour
kuliner mendatang!



Tamat



3 comments:

Bogor Tour 2003, Bagian Ketiga

Masih cuplikan dari Bogor Tour di tahun 2003, melanjutkan bagian kedua







Sabtu 30 Agustus 03




Bogor Tour, Bagian Ketiga.




Walhasil, setelah mandi keringat di ruang makan, kami lalu ngadem di ruang tamu sambil minum-minum.




Bagi yang minum alkohol, Yohan lalu menyajikan White Wine, dan
menghibur kami dengan beberapa lagu bersama isteri tercinta, Clara.
Ternyata tuan rumah jago maen musik lho ?! Ato karena udah 'naek'
broer? he he




Keliatannya Patrick punya interest tinggi sama soal per-daging an.
Selidik punya selidik ternyata doi punya koleksi alat masak yang
kelihatannya bisa dijajal oleh kedua chef kita ini.




Obrolan soal daging ini cukup panjang dan komplit, diantaranya yang
saya ingat ialah mengenai kualitas dari masing-masing grade daging,
supplier favorit, dan cara 'aging' daging. Bagi yang tertarik untuk
informasi tersebut silakan kontak Patrick, Yohan, dan Sammy untuk
referensi, ditanggung nggak akan kecewa.




Setelah sesi wine pertama selesai, Patrick pamit meninggalkan kami
semua, dengan lidah yang kelihatannya masih berasa tak menentu...





How come? karena waktu Yohan tanya soal taste wine nya, Patrick cuma jawab "ngga tau... pedes..." he he he




Di saat-saat santai ini ternyata tugas masih menanti... test
perbandingan asinan ! Hwaduh... padahal perut masih di leher... namun
lagi-lagi suara perut kalah oleh suara mata... asinan sayurnya terlihat
menggoda dengan taburan antanan segar.




Antanan ialah sejenis lalapan yang tumbuh liar dengan bentuk mirip
clover, dengan batang merambat. Menurut Adi karakter rasanya mirip
dengan rasa jambu air hijau...




Antara kedua macam asinan terdapat perbedaan mendasar pada saus yang
dipakai. Dua-duanya cukup enak, namun sebagian besar lebih menyukai
kreasi Gg Aut.




Setelah acara ini ada sedikit tragedi karena kita harus merelakan satu
botol Sparkling Wine di pel keluar ruangan, dan Yohan menderita sedikit
cedera pada jari kaki akibat pecahan botol. Untung doi terlatih soal
jatuh dan dibanting, jadi tidak ada cidera berarti.




Disela-sela perbincangan dan perhitungan biaya jalan-jalan, Francis
(fbs) mengabari kalau ia akan segera bergabung, dengan membawa sebotol
Riesling Alsace Huegel. Menurut Yohan, varian ini adalah "One of the
best Alsace in the world". Yohan lantas segera bergerak untuk mencari
padanan wine yang kurang lebih match dari segi rasa.





Setelah bendahara dadakan kita, mbak Tiwi beres berhitung, ternyata biaya untuk jalan-jalan tadi cuma 40K per orang.... wow...




Fbs kemudian datang dan kamipun berkenalan. Inilah saat pertamakalinya
saya bertemu fbs setelah sering baca tulisannya di milis tetangga,
Indonesia Wine Club.




Makan-makan sesi tambahan kembali terulang karena fbs dan isteri
tergoda untuk menjajal hidangan Bogor, dan akhirnya juga jatuh hati
sama sambalnya Yohan.




Setelah mereka makan, dan kami beres rebutan asinan, maka sesi wine
tasting berikutnya dimulai. Untuk bagian ini silakan rekan-rekan yang
mengulas =). Saya dan beberapa rekan nggak minum, jadi cuma sampai
kagum saja dengan cara mengapresiasi wine yang kelihatannya sangat
menarik.




Anna dan mbak Tiwi masih bertahan untuk tidak mencoba wine maupun
cerutu yang kemudian hadir menemani acara malam tersebut, sementara
saya mendapat banyak tips dan tricks soal cerutu dari Adi, Yohan, dan
Marchel. Menarik juga... walau karena saya nggak merokok jadi perbedaan
rasa antara tiga jenis yang tersaji saat itu (Dos Hermanos?,


Romeo, satu lagi lupa) kurang begitu terasa, but it's an acquired taste for sure.




Lalu ada kabar dari dapur kalau Ibunda Yohan telah membuat ulang semua
macam sambelnya untuk dibawa pulang ! Whoa... kamipun lalu
malu-malu-mau beranjak ke ruang tengah dan mengeruk sendok demi sendok
sambal dari cobek batu berukuran besar yang berjajar di meja. Gepuk
Karuhun yang masih tersisa pun dibagi diantara kita, saya ngambil


beberapa plus rempeyek kacangnya buat "diapresiasi" lebih lanjut di tempat kost. He he he





Sudah kepanjangan?...belum? Ya sudah, nanti kita teruskan sedikit lagi di bagian ke-empat ya .


0 comments:

Bogor Tour 2003, Bagian Kedua


Masih cuplikan dari Bogor Tour di tahun 2003, melanjutkan bagian pertama





Sabtu 30 Agustus 03



Bogor Tour, Bagian Kedua.




Sukasari




Kendaraan kita parkir di dalam pelataran sempit diantara penjual
rupa-rupa makanan dan barang. Sekilas kelihatan ada tukang buah,
gemblong, orang minta sumbangan, plus pembeli yang lalu-lalang.





Roti Unyil yang asli ada disini, di toko paling kiri. Sayangnya waktu
itu sebagian besar pilihan sudah habis jadi saya pribadi sih nggak
napsu buat beli-beli. Santi dan Anna kelihatannya masih tertarik...
mungkin karena roti dengan irisan keju yang bombastis di ujung display?





Asinan Gedung Dalam dijual di selang satu toko setelah Roti Unyil,


disini pun kita beli dua macem asinan; sayur, dan buah. Kelihatannya
yang satu ini lebih 'industrial', walau menurut Yohan untuk proses
mereka tetap pakai cara tradisional.





Ditengah-tengah perjuangan beli-beli, beberapa anggota sepertinya
menghilang... selidik punya selidik ternyata Patrick sedang anteng
menunggu giliran menjajal lumpia basah di gerobak dekat pintu masuk
parkiran. Sementara Adi kemudian datang membawa segelas Es Pala yang
gile segernya.... nyammm....





Lumpia basahnya dimasak memakai bara arang, isinya terdiri dari rebung,
tauge, telur, dan beberapa macam bumbu. Tingkat kepedasan dikontrol
melalui jumlah sambal yang disertakan dalam penggorengan. Lumpia basah
ini disajikan dengan dibungkus daun pisang dalam bentuk persegi, tidak
seperti lazimnya Lumpia Semarang yang digulung. Rasanya? enak! mungkin
karena sudah lama juga saya nggak nemu lumpia basah, tapi memang
bumbunya terasa pas dan komplit.





Setelah beres cicip cicip lumpia, kita lalu beranjak ke RM Karuhun
dekat parkiran. Mereka memiliki dua macam hidangan andalan; Gepuk
Karuhun, dan Ikan Mas Balita.





OMG... nulis ginian bikin gw laper berat!! [droll...] he he





Gepuk (or biasa orang jawa bilang Empal daging) dijual dalam itungan
boks berisi sepuluh, sementara Ikan Balita nya dalam boks juga.
Harganya sedeng, tapi kita liat nanti apa worthed atau nggak.




Di perjalanan kembali ke tempat parkir, Yohan bilang kalau Alpukat


Mentega yang khas Bogor juga sedang ada, jadi buat yang doyan dianjurkan buat beli.




Beberapa anggota ketauan ternyata memborong sejumlah macam oleh-oleh
disini... Untung saya udah kenyang, karena kalau nggak pasti ikutan
kalap...





Btw, pisang tanduknya juga dahsyat2... jadi kangen pisang goreng


buatan ibunda tercinta...





Asinan = 6K/bks


Roti Unyil = .8K/pc


Gepuk Karuhun = 55K/box (10pcs)


Ikan Mas Balita = 45K/box


Alpokat Mentega = 10K/kg


Es Pala = 1K/gls


Lumpia = ?





Selanjutnya dari sini kami beranjak ke kediaman Yohan untuk menjajal
masakan sang ibunda yang katanya ngetop dengan empat jenis sambal super
nya.








Kediaman Yohan, Villa Indah Pajajaran






Keseluruhan acara sulit untuk digambarkan dengan akurat karena itu


saya ambil intisarinya saja ya? =)





Dan silakan membayangkan saja untuk bagian yang satu ini, karena


denger-denger Yohan belum ada rencana buat mangkal jualan masakan Jawa Timur an. he he he he he




Highlight dari acara kita hari itu, beragam hidangan yang disiapkan
Yohan mulai dari tempe dan rempeyek kacang buatan sendiri, tahu goreng
kering, krupuk udang panggang, stick kerupuk udang, pecel mujair, telur
bali(?), botok lamtoro, pepes tongkol pedas, pepes tongkol mangga muda,
ikan asin, sayur asem, lalapan, ikan mas balita, gepuk karuhun, dan
empat macam sambel; sambel bajak, sambel petis, sambel mangga muda,
sambel tongkol!





Perut yang sudah penuh ini ternyata tiba-tiba berubah pendirian karena
hidangan yang luar biasa ini. Saya yang sudah kekenyangan saja malah
nambah...





Diantara sekian banyak kejutan tersebut, saya milih pepes tongkol yang
pakai mangga muda sebagai personal favorit, karena rasa masam nya
benar2 balancing sama rasa tongkol yang gurih.





Juga Pecel Mujair nya yang cukup garing, gurih namun tidak anyir, dengan sambal yang tidak terlalu pedas.





Rempeyek nya juga renyah dan gurih, susah kl mau nyari bandingannya di pasaran nih...





Gepuk Karuhun nya memiliki karakter rasa kelapa yang cukup kuat,


dengan rasa daging yang gurih namun tidak semanis gepuk "NYong" (Ny. Ong )
Bandung. Tekstur dagingnya juga lebih halus. Mungkin tengah-tengah
antara Ny.Yong dengan gepuk "Setuju" di daerah batas Cianjur -
Rajamandala.





Ikan Mas Balita nya berukuran sekitar sebesar jari tangan remaja (jari
saya), digoreng cukup kering namun tidak sampai jadi crispy. Kalau di
Bandung makanan serupa begini ialah goreng impun, dengan ukuran yang
lebih kecil namun dengan rasa dan tekstur yang mirip.





Dua2nya recommended.





Sambal2 nya jadi perbincangan ramai dan banyak yang lalu minta buat
dibawa pulang... Sedangkan saya sendiri, lidahnya waktu itu udah keburu
kalah sama pedasnya sambal petis buat bener2 bisa ngapresiasi sambel
lainnya.





Sekarang, biar nggak kepanjangan, nanti laporan masa rehatnya kita


lanjutkan di bagian ketiga ya... 


0 comments:

Bogor Tour 2003, Bagian Pertama

Yang ini cuplikan dari Bogor Tour di tahun 2003

Bogor Tour, Bagian Pertama.

Sabtu 30 Agustus 03

Setelah melalui beberapa kemacetan mulai dari stasion KA hingga sekitar jalan masuk tol, mbak Tiwi dan saya akhinya tiba di Restoran Ny. Yenny, Bogor, terlambat 1/2 jam. Really sorry guys...

Setelah berkenalan kami lalu bergerak menuju kediaman Yohan untuk menitipkan mobil. Sepuluh peserta yang hadir lalu berangkat mempergunakan mobil Rusmin dan Adi. Perhentian pertama kita setelah itu adalah Sate Kambing Muda Pak Umar, yang berlokasi tidak jauh dari kediaman Yohan.

Sate Kambing Muda Pa'Umar

Jl. Pajajaran No.19, 0251 318716

Tempatnya sederhana sekali, berdaya tampung sekitar 20an orang, penghawaan ruangan dibantu bbrp kipas listrik di langit-langit ruangan. Untung saja ini di Bogor, jadi suasananya masih cukup nyaman.

Dari beragam menu yang tersedia, kami memesan 40 tusuk sate, satu gulai kambing, satu sop kepala kambing, satu roti cane, plus tiga porsi nasi goreng yang dibagi rata.

Nasi gorengnya berwarna kekuningan, dengan bumbu yang gurih dan nuansa minyak samin yang kuat. Menurut beberapa pencoba, ada kemiripan dengan NGK Kebon Sirih, walau menurut saya pribadi yang ini masih lebih mantap bumbunya. Porsi sedang, cukup mengenyangkan untuk satu orang.

Gulai kambingnya juga berwarna kekuningan karena pemakaian kunyit yang berlimpah. Jadinya agak ke kare-kare an, tapi soal rasa sih sama2 mantap.

Sate nya hadir dalam dua macam saus; saus kecap dan saus kacang. Saus tauco yang Yohan bilang merupakan ciri khas pa'Umar hari itu berhalangan hadir, entah kenapa. Rasa dan kualitas daging cukup baik, dagingnya empuk walau bagi Adi bukanlah yang terempuk yang ia pernah rasakan. Nyaris tidak ada hawa2 kambing, pa'Umar dengan sukses menghilangkan bau ini dari masakan-masakannya.

Roti cane nya dibawah par, kelihatannya sudah digoreng ulang jadi tidak segar lagi.

Sop Kepala Kambing memuat cukup banyak komponen yang asing bagi sebagian besar peserta, kecuali Adi dan Sammy yang keliatan mengenali betul potongan-potongan daging yang tersaji dalam kuah bening tersebut. Maklum... chefs... Kesimpulannya; kurang lengkap, tapi cukup enak.

Marag Kambing dan Gorengan Kambing juga berhalangan hadir hari itu, sementara susu kambing yang kami pesan tidak memiliki karakteristik khusus dan cenderung sama dengan susu sapi biasa, kecuali adanya sedikit perbedaan pada aroma dan rasa lemak susu nya. Rusmin sempat curiga kalau-kalau ini hanya susu Dancow biasa...

Nasi Kebuli hanya ada pada hari Jum'at, dan Menurut Yohan biasanya pada saat2 tersebut pa'Umar ramai kedatangan pengunjung2 keturunan Arab.
Makan siang pertama ini berlangsung sukses, tidak ada protes keras dari maniak-maniak kambing, jadi saya rasa bisa di-reccomend. he he he

Oh iya, acar nya juga baik sekali; bahan2nya masih segar, tapi rasa masamnya pas, dan sudah meresap dalam.

Sop, Gulai, Cane = 10K
NGK = 9K
SKM = 12.5K/10 tsk

Tempat berikutnya; Gg. Aut di Jl. Suryakencana.

Asinan Gang Aut

Jl. Suryakencana, Bogor

Perjalanan dihiasi sedikit macet, terutama di pertigaan awal Suryakencana dimana terdapat banyak angkutan kota ngetem. Satu kekhasan yang sangat menjengkelkan dari Bogor!

Di Gg. Aut ini terdapat satu penjual asinan yang cukup melegenda di Bogor. Disini dijual dua macam asinan; sayur, dan buah. Kami membeli bbrp bungkus untuk dibandingkan pada acara berikutnya di rumah Yohan.

Sambil menunggu pesanan, Adi dan saya tertarik untuk mencoba Bir Peletok yang berupa ramuan jahe dengan beberapa macam rempah lain, disajikan dengan es setelah sebelumnya dikocok dulu dalam pitcher kaleng besar. Segarrr..... Lilies menyukai karakter jahe yang kuat, walau sempat tersedak. Patrick bergabung dengan rombongan disini.

Setelah beres membeli asinan, kami semua lalu menyeberang jalan ke Pondok Soto Mie Ciseeng untuk menjajal Soto Mie, Pangsit Penganten, dan Ngohyong. Yohan menunjukkan beberapa tempat yang menjual Lumpia basah pada Patrick, namun menganjurkan untuk menunggu hingga kita tiba di tempat tujuan ketiga.

Sebenarnya saat itu perut saya sudah bilang 'cukup'... namun apa daya.. malu dong ah kalo berenti? he he he

Pondok Soto Mie Ciseeng

Jl. Suryakencana No.280, 0251 333611

Sotomie nya bukan sotomie yang biasa saya temui di Jakarta. Menurut saya pribadi lebih mirip mie kocok bandung atau pho-hoa, karena rasanya yang sederhana. Plus, no risoles atau tetelan...

Pangsit Pengantin berisi macam-macam komponen termasuk babat putih dan dedaunan misterius, rasanya lebih mirip mie-mie chinese resto. Saya pribadi lebih suka yang ini karena rasanya lebih jelas. Daun misterius itu ternyata daun bawang yang digoreng terlebih dahulu.

Ngohyong ditempatkan di ujung meja untuk kalangan terbatas, karena ketidak halalan nya. Denger-denger sih sausnya cenderung manis, tapi cincangan daging nya kurang.

Setelah itu kami lalu menuju ke tempat ketiga; Sukasari, untuk membeli Asinan Gedong Dalem, Roti Unyil yang asli, Gepuk dan Ikan Mas Balita Karuhun, plus oleh2 lainnya.

bersambung ke bagian Kedua... (byms)

0 comments:

Appearances