Nasi Uduk Ummat Babe Salam Jakarta

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Gedung Asiaworks, Sarinah, Jakarta
Di Gedung Asiaworks (Sarinah Thamrin), baru buka restoran Nasi Uduk Ummat Babe Salam. Buat yang udah biasa mampir ke warung pusatnya di Kebon Kacang, mungkin dah nggak aneh lagi sama rasa dari makanan-makanan disini. Cuman karena terakhir kalinya gw ke Kebon Kacang itu sekitar empat taun lalu... rasa aslinya gimana dah lupa. Perasaan dulu sih nothing special, cenderung overrated...

Tapi waktu nyobain yang di Asiaworks ini, entah karena dah lupa atau emang beda, somehow rasanya mantep... Mulai dari empal (5.5K), Ayam Bakar (7.5K), sampe ke Sayur Asem nya pun oke banget! Nasi uduknya juga (2.5K) gurih, nasi uduk restoran paling gurih yang pernah gw rasain dalam lima taun di Jakarta... menang jauh lah kalau dibandingin punyanya Mas Dikun Pasar Minggu...

Trus penyajiannya juga ala restoran, apik. Tata Interiornya juga menarik, paduan antik dan casual, dengan poster-poster olahraga Babe Salam. Ruangan non AC, jadi agak panas walau ada kipas2 gede di langit-langit. Menu ditempel di talenan kayu, looks nice... Waktu dateng, dua macem sambelnya tersaji diatas pisin kaleng buram, lucu... Keliatan ada sentuhan tangan desainer disini... Porsi? Sedeng deh... Buat yang doyan makan pasti sepiring nasi gak cukup.

Sayangnya, Bir Pletok disini nggak seenak yang gw rasain waktu Tour d'Bogor ama Epicurina dulu, terlalu asem... Padahal harganya 7 rebu...

Tapi on overall harga-harga masih wajar sih, dibandingin porsi, kualitas, ama presentasi. Dan nggak ada yang ngamen! Paling cuma seekor dua ekor kucing yang menanti dengan tatapan mata penuh harap...

Trus selama masa promosi hingga akhir Mei 2005, pengunjung dikasi kupon diskon buat kunjungan berikutnya. Di kupon ini ada gambar Jan Pieterzoon Coen nya, lucu.

Dan waktu belum buka, spanduk pengumuman bertuliskan kalau resto yang bersangkutan "udah mau buka"... Dan waktu udah buka buat publik, tulisan "mau" di spanduknya disilang garis putih rapih... solusi yang ngirit, tapi kreatif...

Tertarik?

Yang pasti, pilihan makan enak di sekitar Sarinah sekarang jadi makin lengkap...

-bay-

4 comments:

Acquired Taste Makanan Lokal

Melanjutkan tulisan sebelumnya soal "Acquired Taste", mari kita bahas lebih lanjut soal makanan lokal yang masuk kategori ini!



Telur Asin



Dibuat dengan pembalutan telur bebek dengan adonan pasta yang terbuat dari abu gosok / bubuk bata merah, dan garam, lalu dibiarkan selama 15-20 hari. Setelah itu direndam lagi dalam larutan lain selama 8 hari...



Sebenernya proses ini membuat telur bebek jadi "matang", cuma saja rasa
asin dan baunya itu sebenernya cukup menganggu kalau gak terbiasa. Kalo
buat yang doyan sih, ya enak!



Petis



Dibuat dari air rebusan udang,
ikan, daging, atau limbah kepala udang, yang dicampur dengan gula
merah, dan bumbu-bumbu lain. Sebenernya rasanya gurih... tapi bau
khasnya dan rasa gurih-manis nyelekit dari petis, membuat orang either like it or hate it.



Terasi



Baunya itu lho... dan rasa gurih anehnya... no need to explain more
deh... banyak yang anti sama bumbu yang satu ini... Dan sampai beberapa
tahun belakangan ini, jangan harap ada restoran kotaan yang jual
masakan pake terasi... kecuali restoran makanan daerah tentunya...



Kencur



Jangan salah, rempah imut ini juga gak tiap orang bisa nerima... padahal buat yang terbiasa, rasanya seger dan gurih...



Oncom



Hm... tauk nih, cuma menurut gw pribadi, rasanya gak cukup "aman" buat
bisa diterima ama lidah orang umum... Apalagi oncom Jakarta yang dibuat
dari ampas kelapa... teksturnya bener-bener meragukan apa ini makanan
layak konsumsi atau bukan...



Paria (Pare)



Sayuran yang satu ini rasanya pahit ketir... Tapi buat yang terbiasa malah bikin nagih kan?



Rebung



Baunya busuk dan kadang mirip bau pesing, itu yang paling mengganggu. Tapi kalau dah terbiasa, nggak jadi masalah kan?



Petai & Jengkol



THE MOST notorious veggies. Buat yang gak biasa makan pasti menghindari dua sayuran in jauh-jauh...



Cabe Rawit



Mungkin buat orang bule, cabe rawit bukan masuk kategori hot, tapi
"hellish". Tabasco yang segitu pedesnya aja gak ada mukanya kl
dihadepin sama cabe rawit... Tapi walaupun karakter rasanya yang
hellish ini, berapa banyak orang (wanita) Indonesia yang kerajingan
cabe rawit? Apalagi kalo sambil makan bakso gitu?...



Durian



Kalau anda bilang "apa anehnya?", mungkin anda gak pernah bantuin
nyokap / isteri buang sampah buah yang sudah membusuk dan mulai
berair... wangi-wangi nya mirip lho.... Dan berarti anda belum pernah
bantuin buang sampah durian busuk yang baunya lebih top lagi...



Kiamboi



Sirup koq asin?



Kopi



Pahit... seandainya dia gak punya efek uplifting (caffeine), apa ada orang yang mau minum cairan hitam pekat ini?



Yang lainnya? Ada yang mau nambahin?

0 comments:

Acquired Taste

Setelah pengalaman minum es nano-nano di Lang Viet tempo hari, sekarang gw punya kebiasaan baru... Nambahin garem di es jeruk! He he he he...



Mungkin buat sebagian orang hal ini aneh, atau bahkan yucky... Tapi
walaupun awalnya kaget, ternyata rasa jeruk yang asem seger bercampur
dengan garam yang asin cukup gw sukai... dan kalau di suatu tempat
minuman semacam ini adalah minuman sehari-hari... nah tinggal kitanya
yang bertanya, pola pikir siapa yang salah? Kita yang nganggap nambah garem pada minuman sebagai suatu hal yang grossy, atau "mereka" yang nganggap kita nggak asik karena gak bisa menikmati segelas es jeruk yang segar dan gurih?



Tapi sebenernya diluar gimana pendapat anda dan saya, kita dan mereka,
hal-hal semacam ini terkait erat dengan istilah kuliner yang bunyinya "acquired taste", alias rasa yang di acquire, atau apresiasi rasa sebagai hasil dari usaha secara sadar untuk menikmati (hasil ngira-ngira sendiri, jangan nanya referensi!).



Yang termasuk dalam kategori makanan dengan acquired taste, umumnya adalah makanan yang tidak terdapat dalam keseharian kita. Ambil contoh paling lazim; sushi dan sashimi.



SUSHI?? IKAN MENTAH?? YUCKKK!!!



Nah, jangan dulu bersorak sorai kalau anda ngerasa setuju dengan
kalimat tersebut... Sebenarnya saya sendiri termasuk pada golongan
orang berpendapat demikian.... tapi itu dulu... sebelum akhirnya saya mengenal kenikmatan luar biasa dari "rasa asli" suatu bahan makanan, sebagaimana terdapat dalam hidangan unik dari Jepang ini.



Dibilang "rasa asli", itu karena dalam persiapannya, umumnya daging
untuk sushi dan sashimi tidak mengalami proses pemasakan atau pemberian
bumbu. Perkecualian misalnya, untuk jenis masakan unagi (belut sawah) yang dipanggang terlebih dahulu dan diberi special glazing, serta ebi (udang) dan tako (gurita),
yang direbus sejenak terlebih dahulu. Jadi yang terdapat dalam sushi
dan sashimi, adalah rasa asli dari bahan makanan yang dipakai... memang
ada tambahan saus (shoyu) dan sambal (wasabi) untuk menambah
petualangan rasa, tapi pada dasarnya, gimana rasa asli dari daging yang
dipakai, adalah apa yang kita rasakan.



Mungkin kalau anda penggemar sushi, anda tidak jijik, tapi akan
mengucurkan liur ketika melihat Discovery Channel memutar film
dokumenter Beruang Grizzly yang mengunyah mentah ikan Salmon di pinggir
sungai.... I do... and my sushi lover friends understand.



Secara basic, saya termasuk pembenci ikan, apalagi ikan darat
yang rata-rata anyir dan bau lumpur. Kalau masaknya gak bener, rasa
anyir ini sangat kentara dan jadi mengganggu... Tapi dalam lubuk hati,
di jaman dulu pun, ada hasrat untuk mencoba hidangan sushi dan sashimi.
Pembenarannya? Karena ada suatu negara yang penduduknya sama-sama
kompak menganggap hidangan jenis ini sebagai makanan favorit. Dalam
kasus ini saya yang bertanya... Pola pikir siapa yang salah? Kenapa gak
dicoba? Toh ada yang nganggap makanan ini enak, dan keliatannya mereka
sama manusianya sama saya... Can I learn to like it?



Jadi ketika akhirnya terpaksa bertemu dengan makanan jenis ini, dengan pola pikir berusaha untuk menikmati, jadinya yang terjadi adalah saya berusaha untuk mencari karakter khusus, nilai lebih dan sisi unik dari sushi dan sashimi.



Hasilnya? Now I'm an all-time all-weather sushi fanatic!.



Contoh lain dari makanan kategori "acquired taste"?



Ada yang tau "Balut" dari Filipino? Telur unggas yang nyaris jadi hewan
ini dianggap cemilan lezat untuk dinikmati kala santai, walaupun buat
turis asing kemungkinan akan mengalami horror tingkat tinggi kala harus
memakan telur yang isinya sudah ada anggota tubuh dari bakal mahluk
hidup...



Hmm... telor tapi kok ada kriuk kriuk nya...?



Contoh lain? Gimana dengan kebiasaan masyarakat Belanda untuk makan
ikan Herring mentah? Atau masyarakat China yang gemar mengkonsumsi
"Telur Pitan" (Century Egg) yang rasanya "aduhai"? Semuanya terlihat
tak lazim karena makanan-makanan tersebut berasal bukan dari lingkungan
kita. Nah gimana kalau ternyata makanan semacam ini ada di lingkungan
kita? Mau tau jenis makanan yang masuk kategori acquired taste dari
keseharian kita? Nih, coba pikirkan secara sadar mengenai (bahan)
makanan-minuman berikut ini:


  • Telur Asin


  • Petis

  • Terasi

  • Kencur


  • Oncom

  • Paria (Pare)

  • Rebung

  • Petai

  • Jengkol


  • Cabe Rawit

  • Durian


  • Kiamboi (Sirup nano-nano dari Medan)


  • Kopi


Apa anehnya???



Telur asin secara first taste
sebenarnya berasa mirip sesuatu yang mulai busuk... Terasi memiliki
rasa yang aneh dan berbau mirip kaki setelah seharian ikut gerak
jalan... Paria membuat mata memicing karena ketir... Cabe Rawit? Bikin
dunia serasa kejam kalau tak sengaja kegigit... Durian, bagi orang bule adalah buah "hard core" yang command respect
saking aneh rasanya dan nyegak baunya... Sedangkan kopi, jika puyer
obat yang pahit kita hindari, lha minuman pahit yang satu ini malah
jadi favorit...



Semuanya ada pada familiaritas... Kalau sehari-hari di rumah, bokap
(tetangga) doyan ngemut pete, dan nyokap (kamu) doyan nyeruput semur
jengkol, tentu makanan-makanan ini bukan hal yang nista dan tabu dalam
kamus makanan anda... Karena terbiasa, makanya udah bukan jadi hal
spesial atau spektakuler lagi... Padahal buat first timer?... Bleeh!!!



Dalam kerangka pikir yang sama, gimana kalau perspektifnya dibalik? Suatu makanan "aneh" belum tentu nggak baik atau ngaco,
hanya karena kita yang gak terbiasa dengannya. Dan dengan semangat yang
sama, jika kita liat suatu makanan ada penggemar fanatiknya, berarti
ada suatu kebaikan yang bisa diapresiasi dari makanan tersebut.



Kalau pola pikirnya sudah begini, nggak ada deh istilahnya kita menjelek-jelekkan suatu makanan asing hanya karena kita gak ngerti gimana menikmatinya. Yang ada, kita yang ngeliat ke dalam diri sendiri dan bertanya, "kenapa gw suka makanan ini", dan "kenapa gw gak suka makanan itu", bukan...



IKAN MENTAH? IIIHHHHHH



4 comments:

Mampir lagi ke Pizza Hut eX...


Kalau waktu ultah boss Ferry kita makan-makan di Platinum, maka waktu
boss Adhi ultah kemaren, kita makan (lagi) di Pizza Hut eX. Kenapa
demikian? Di tempat sama? Entahlah... keliatannya sih biar kami-kami yang di kantor gak
sulit buat nyampe, lha tinggal nyebrang jembatan doang.



Tadinya sih kita mo nyoba yang laen... Thai atau Japs gitu... tapi berhubung boss gw yang satu ini
rada selektif kalau makan, dan gak bisa nunggu lama... jadinya rada ragu buat ngajuin pilihan lain...
apalagi temen-temen kantor juga sebenernya gak terlalu avonturir dalam hal makan.



Sebagai catatan, Pizza Hut disini beda sama cabang lain... mungkin ada
yang sejenis tapi gw gak ngeh... Bedanya? Banyak menu yang gak lazim,
dan gak ada salad bar. Semua pasta juga hadir dalam ukuran besar,
bye-bye diet!... Tapi sebagai ganti salad bar, ada beberapa macem
pilihan salad a'la carte yang keren dan enak, walaupun jadinya harus
merogoh kocek
lebih dalem lagi. Begitu juga dengan pilihan sup nya, selain dari sup
krim standar, ada juga sup krim tomat, dan sup krim labu.



Tertarik sama sup krim labu nya? Tunggu dulu...



Berbeda dengan gambaran ideal mengenai sup krim labu yang gurih dengan
aroma yang khas, ternyata sup krim labu disini hanyalah sup krim dengan
potongan labu yang rasanya cenderung manis gurih gak jelas... not
recommended.



Tapi yang paling menarik waktu kunjungan kemaren adalah adanya
appetizer baru dari bahan jamur. As some of u might have known, I'm a
great mushroom fans, makanya menu ini langsung jadi incaran... Menu
yang namanya gw lupa ini, berupa potongan jamur Champignon ukuran
sedang kecil yang dimasak pan fried atau sautee (tumis bentar), dengan
bumbu gurih pedas... Pedasnya bukan dari saus, tapi dari serpihan cabai
merah diantara campuran kaldu dan rempah lainnya. Yummy! Harganya juga
murah, cuma sekitar 10K dengan porsi cukup banyak. Kalau beli jamurnya
thok di supermarket aja, udah keluar uang sekitar 7K... belon
masaknya...



Sebagai catatan kecil, taun lalu kita makan disini juga dengan pengalaman gak asik gara-gara tungku pizza nya rusak.
Dan dasar gak mau rugi, si mbaknya ngasi tau waktu kita dah order
minum... huhh... licik... Kl gw sih waktu itu dah langsung mo cabut,
tapi si boss gak enak karena minuman dah dateng...



Untung taun ini gak demikian kejadiannya, jadi soal pizza, selain dari
chefnya salah bikin order, gak ada masalah berarti. Pizzanya milih yang
stuffed crust isi krim cheese dan nenas yang ternyata aduhai segar
gurih, buffalo wingsnya yang mantap, pasta-pastanya yang cukup oke,
walaupun smoke soy spaghetti nya (menu baru) bikin rancu kita ini ada
di resto pizza atau resto chinese food.



Tapi gak bisa dipungkiri, untuk restoran kelas cukup murah macem ini,
Pizza Hut termasuk sangat unggul... Mungkin karena dia cukup menjaga
mutu (ada beberapa gerai yang please deh gitu lho), dan gak pernah
berenti buat ngehasilin menu baru yang kreatif dan mengena di lidah,
makanya customer gak bosen-bosen buat balik lagi dan balik lagi...



Hmm... keliatannya gw jatuh cinta lagi nih ama Pizza Hut...








0 comments:

American Grill Plaza Semanggi Jakarta

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: American
Location:Plaza Semanggi, Jakarta
Beberapa waktu lalu, Ade dan saya mengunjungi restoran ini di Plangi lantai LG. Dari luar keliatan cukup meriah, selain karena banyaknya pengunjung yang datang, juga karena penataan ruangan yang menarik dan hidup... atau tepatnya membangkitkan selera.

Pandangan mata kami berdua langsung tertuju pada buffet salad & dessert di balik kaca, yang berisi rupa-rupa sayur mayur. Melihat ketertarikan kami ini, waiter yang bertugas tidak menyia-nyiakan kesempatan dan mengajak kami untuk melihat langsung ke dalam. Namun karena sudah terlanjur tertarik, kami langsung saja minta melihat menu. Seperti cabang restoran ini di Jl. Sabang, menunya dipajang di dinding sebelah kasir, dengan ukuran raksasa. Ada beberapa menu yang sedang dalam rangka promosi (40K something), lainnya berkisar diantara 50K hingga diatas 100K.

Setelah melihat pilihan yang kira-kira cocok, kami pun diantar ke meja dan diberi lagi dua buku menu dengan segala macam tempelan tambahannya, berisi daftar menu yang sama dengan yang ada di dinding, namun lengkap dengan foto.

Karena lebih tertarik sama saladnya, maka saya gak terlalu concern soal main course nya. Tapi waktu lihat ada menu domba, semangat cukup menaik... Akhirnya saya mesen daging domba (45K) dengan saus pedas (lainnya ada teriyaki dan barbecue). Ade yang lebih penasaran, memesan Sirloin Steak with Shrimp (80K), yang tak lain adalah paduan steak sirloin dan udang goreng tepung.

Setelah itu, dengan semangat saya mendatangi meja salad di tengah ruangan. Rupanya selain dari salad, terdapat pula side dish yang cukup berat, yaitu nasi goreng, spaghetti, dan bubur ayam. Ada juga potato skin, sup krim, seafood chowder, dan sup sayur. Cukup komplit kan?

Di bagian saladnya, dua sisi display ternyata memuat ragam salad berbeda. Ada yang milih sendiri bahannya dan dressingnya, ada juga yang hasil racikan chef, yang lucunya, ternyata terus berganti-ganti ragam sepanjang malam itu. Untuk dressingnya, selain dari mayonnaise, blue cheese, thousand island, dan beberapa macam dressing standar, ada juga dressing wasabi! Walaupun tidak se-mematikan kalau dimakan langsung, dressing yang satu ini cukup berasa unik.

Di display sebelahnya, terdapat hidangan dessert yang juga menarik, terdiri dari beberapa macam pudding, kue kecil, dan es krim dengan macam-macam topping.

Kualitas bahan-bahan saladnya bagus, dan dressingnya juga gak asal-asalan. Walhasil belum sampe hidangan utama aja, saya dah ngerasa kenyang... =| Bahaya... karena rencananya mau jajal dessertnya juga...

Untungnya, porsi daging yang terhidang ternyata tak terlalu besar. Kalau di lain waktu hal ini bisa jadi menyebalkan, waktu itu malah disyukuri =). Tapi emang dari segi finansial masuk akal koq, buat salad bar macem gitu, tentu main course nya gak akan se-fancy kalau dijual terpisah... apa lagi kalau masak sendiri =P.

Daging dombanya sayangnya, bukan daging steak... kirain mo dapet lamb chop alike, taunya dapet ground meat, alias daging cincang, alias burger steak. Trus rasanya memang domba banget... Ade ampe gak tahan walau makan cuma setengah suap... tapi saya sendiri sih asik-asik aja... cuma berharap kalau bumbunya dapet yang lebih pas... Untuk rasa daging yang anyir begitu cocoknya dikasi saus tajem macem black pepper, sedangkan pilihan saus pedas nya ternyata kurang nendang... walhasil termasuk rada gagal... Menu pilihan saya ini hadir dengan kentang bakar (bisa juga french fries), yang terhadir dengan sesendok besar butter yang meleleh-leleh... seksi deh =P

Kalo steak yang dipesen Ade sih oke, quite good. Walaupun Ade mintanya well-done, tapi chef nya nggak lantas bikin "sendal jepit bakar", tapi steak yang masih tetep firm dan juicy.

On overall, yang bikin saya tertarik buat balik, adalah lebih karena salad bar nya... kalau steaknya sih, dengan harga segitu masih bisa nambah ini-itu kalau di tempat lain... misalnya di Ya Udah Bistro di Jl. Sabang.

Waktu ngisi kartu kesan dan pesan pun, kita banyak nyontreng "excellent" di kotak isiannya, termasuk service yang waktu itu akomodatif dan sigap.

Will be back!

-bay-

p.s.: karena hape baru ilang, jadi rada males bawa digicam dan walhasil gak ada foto-foto... sori surori...

2 comments:

Kafe Solo Citos Jakarta

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Other
Location:Lantai 1 Citos, Jakarta.
Sebenernya rasa lapar udah menyerang dari sejak meeting di Subud, Fatmawati. Untung aja abisnya si boss ngajak makan di Citos. Tadinya kirain mo ke Kafe Victoria, tempat langganan keluarganya Ness buat ngumpul, or else alike. Tapi ternyata boss ngajak kita buat ke Kafe Solo, tempat yang gw tau agak nyempil di sebelahnya Thai Express, deket-deket Aksara Bookstore di lantai 1.

Oh well, pengalaman baru toh? Betul sih, cuma gw gak nyangka kl si boss lagi kangen makanan kampung halaman (kampung halaman kedua, btw). So, singkat kata kitapun nyampe di lokasi dengan cepat. Citos jam makan siang belumlah se gila kala matahari mulai terbenam...

Kafe Solo memiliki suasana yang etnik, dengan interior yang didominasi nuansa kayu dan warna-warna cokelat. Di dinding kafe sedang terdapat beberapa lukisan yang dipajang dalam rangka eksebisi. Yang mengejutkan, tempat ini cukup ramai pengunjung. Padahal tadinya saya gak ngira kalau ada banyak pengunjung yang malah nyari makanan tradisional kala ke pusat gaul macem Citos. Tapi yah memang bisa dilihat dengan jelas kalau yang mampir kesini rata-rata dari kalangan eksekutif, atau orang dewasa yang penampilannya kalem, dan bukan ABG2 nge-jreng yang banyak menghiasi gerai lainnya.

Menu yang ditawarkan tidak asing, diantaranya Nasi Gudeg, Nasi Liwet, Soto Ayam, dan Sayur Rawon. Tertarik oleh gembar-gembor sebagai menu favorit, dan kerinduan akan kuah rawon yang pekat tajam dengan rasa keluwak, akhirnya terpilihlah menu "Rawon Buntut" (~40k), dan segelas "Es Beras Kencur" yang sudah lama juga nggak saya nikmati.

Es Beras Kencurnya datang duluan, karakter rasanya menurut saya terlalu manis dan kurang "jamu", tapi cukup nikmat dan mengobati kerinduan saya atas minuman tradisional yang satu ini.

Dari kubu makanan, yang pertama kali datang adalah Gudeg. Dari segi penampilan cukup menarik karena warna-warnanya yang matang, mengesankan makanan dengan rasa yang mantap. Yang satu ini gak saya cobain karena saat itu lagi rada gak berselera ama gudeg. Yang ada, saya nyobain Soto Ayam nya temen, yang ternyata rasanya cukup enak, terutama karena ada irisan-irisan tipis kentang yang digoreng cukup garing diatasnya. Khas Solo? Entahlah, yang pasti topping kentang ini gak banyak ditemui di jenis soto dari daerah lain yang banyak dijual, dan hanya ada di tempat khusus saja, termasuk di rumah sendiri. My mom yang dulu tinggal lama di Malang cukup ahli masak makanan ala Jawa, makanya standar benchmark saya di jenis makanan ini cukup tinggi.

Ketika akhirnya Rawon Buntutnya datang, yang pertama saya coba adalah kuahnya, pasti. Kuahnya ternyata cukup tajam, khas rasa keluwak yang agak asam pahit, dan kaldu yang gurih. Sayangnya, selain dari beberapa potong daging buntut, tidak ada sayur-sayuran yang biasanya membantu menambahkan karakter rasa pada makanan jenis ini. But anyway, rata-rata Rawon yang saya temui di Jakarta pun gak memakai sayur, alias hanya daging. Padahal kalau standar di rumah kami, Rawon pasti memakai sayur berlimpah, dan pasti ada keluwak yang masih setengah pecah yang biasanya menjadi rebutan antara saya dan bapak (ibu mengalah).

Sebagai topping standar memang ada tauge pendek, dan telor asin yang cukup matang, walau belum bleeding bagian kuning telurnya. Sambalnya kurang pedas dan nendang sehingga hanya memberikan sensasi lemah saja. Daging buntutnya, sayangnya, tidak cukup empuk untuk bisa dinikmati maksimal. Hal ini berakibat tidak efektifnya sendok dan garpu yang mereka sediakan, dan saya harus kembali mempergunakan alat multiguna yang selalu saya bawa (pakai) kemana-mana: tangan telanjang. Setelah di grip dengan baik oleh jari-jari tangan dan dipotong memakai gigi, barulah daging buntut yang dimaksud bisa dikuasai. Tentu terlihat rada barbarik oleh tamu lainnya, but so... does it seem like I care?

He he

On overall, bisa dibilang cukup oke; makanan-makanan yang dicoba tidak ada yang gagal, walaupun rawon buntutnya masih perlu teknik pengolahan daging yang lebih canggih. Di menu juga sebenarnya ada beragam penganan bubur-buburan yang sayangnya waktu itu semuanya absen. Price-wise? Harga antara 25K - 45K dengan porsi sedang, membuatnya jatuh dalam price scheme standar kafe di mall, gak ada nilai lebih. Saya pribadi akan lebih memilih untuk mencari hidangan sejenis di tempat yang lebih merakyat, tidak terlalu prestigius macam di Mall dan Kafe. Tapi buat mengobati kerinduan? Boleh deh...

Nah, sekarang, ada yang bisa nyaranin tempat makan tradisional Jawa yang enak di Jakarta?

1 comments:

Revisit "BALBT" di Rawa Belong


Sewaktu Ade sariawan berat, dia kepaksa cuma bisa makan yang
lembek-lebek semisal krim sup, dan bubur ayam. Karena sedari kecil udah
langganan sama Bubur Ayam Lumayan Bang Tatang (BALBT), maka Ade pun
minta ditemenin buat makan bubur legendaris ini selepas pulang kantor.



Di review pertama gw dulu,
gw bilang gak suka sama rasanya karena cenderung plain dan gak ada yang
spesial. Tapi karena di seputar Sudirman gw gak tau tempat ngebubur
yang enak, jadi deh jauh-jauh ke Rawa Belong (Slipi) buat menyatroni
bubur ayam legendaris ini. Toh tempatnya lebih deket ama rumah si neng,
jadi dia pulang gak akan masalah...



Seperti biasa, kita gak dapet tempat duduk. Walaupun udah jualan
belasan tahun, Bang Tatang keliatannya gak ada niatan buat memperluas
tempat usahanya, mungkin karena masih nunut paham percaya sama hoki,
jadinya khawatir dagangannya malah gak laku kalau pindah tempat atau
ngegedein tempat. True? Gak tau... kan gw bilang mungkin....
Sementara sekarang, saat pelanggan makin banyak, dan antrean pun makin
panjang, kondisi ini membuat makan bubur di BALBTsangat nggak nyaman.
Pengunjung harus antri biar bisa duduk, ditambah lagi pemesan take-away
yang masing-masing bawa rantang sendiri, bikin suasana makin hectic dan
dorongan di abang makin acak-acakan layoutnya...



Setelah berbesar hati menunggu seorang bapak menghabiskan buburnya,
kita ternyata dapet tempat duduk di posisi lain karena ternyata bapak
yang bersangkutan nambah bubur setengah mangkok lagi... Trus pesenan
Ade dateng duluan sementara pesenan gw gak dibuatin... Gw ngerasa
underdog disini, dimana sebagian besar pengunjungnya dah akrab gitu ama
Bang Tatangnya, sementara gw gak tau kalau gw ngomong apa didengerin
ama dia atau nggak, soalnya orangnya cool banget... gak ada konfirmasi
atau apa gitu yang nunjukin dia denger kita mesen... jadinya gw sih
ngerasa untung-untungan... dan tiap kali dia nengok, gw ingetin lagi
pesenan gw... sedangkan pelanggan lain ngelirik gw sinis seakan berkata
"ni orang gak ngerti amat sih cara mesen disini...". Well in fact I
don't! Karena si Bang Tatang nya nggak ada ngangguk atau senyum atau
apa kek... atau "iya" gitu yang standar dipake di seantero Jakarta...
cool aja lurus...



Tapi karena kemudian bubur gw dateng, berarti cara yang gw lakuin dah
bener kan? Walau mungkin bikin doi bete juga... duh... mo makan koq
harus tegang dulu...



But anyway, karena gw saat ini dah cukup banyak makan bubur buat sarapan (makanya
makin bengkak), somehow lidah gw jadi rada lebih peka sama kualitas
makanan yang satu ini. Makanan yang dulu gw jauhi selayaknya kucing
menjauhi baskom buat mandi, kini udah jadi salahsatu makanan yang taste
nya bisa gw acquired.



Kenapa gw dulu benci bubur? Karena waktu kecil, dokter yang nanganin gw
(dr. Suganda) selalu maksa gw makan bubur, mo sakit apapun. Sedangkan
my mum bukan tukang jualan bubur jadinya yah... buat gw, bubur itu
makanan yang traumatik...



Okeh! Kembali ke soal BALBT. Yang gw perhatiin sekarang, ternyata
porsinya emang gede. Base buburnya agak kentel dan emang kadang agak
gosong (agak coklat). Tapi dari segi rasa sih cukup gurih, gak se-plain
yang gw rasain waktu coba pertama kali dulu. Trus suwiran ayamnya
generous banget, dan seperti ada nuansa rasa karinya, jadinya cukup
enak juga...



Ati ampela juga ternyata ada, tapi mesen terpisah dari bubur. Semangkuk
itu isinya kayaknya dua potong ati ampela. Ukurannya gede, masaknya
juga cukup bagus. Cuma rasanya standar, cenderung plain, jadinya
cenderung cuma lewat aja di mulut, no exciting experience gitu.



Satu hal yang keperhatiin juga, adalah harga
nya. Walau gak yakin harga satuannya berapa, tapi untuk dua mangkuk
masing-masing setengah porsi, plus ati-ampela dan dua teh botol, bisa
jatuh di kisaran 20K, yang berarti satu mangkuknya itu sekitar 6-7 ribu
rupiah.



Verdict akhir.... oke deh, tapi gak sampai buat gw nagih tuh...



Saran paling prioritas: Perluas tempat jualan !!!






9 comments:

Menu Buffet di Buzz Cafe Pondok Indah Jakarta

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: International
Location:Pondok Indah, Jakarta Selatan
Pada acara "Ciuman Massal" yang lalu, panitia memutuskan untuk menyewa Buzz Cafe sebagai tempat berlangsungnya acara. Hal ini diputuskan setelah melihat fasilitas yang mereka tawarkan, pilihan menu, dan biaya yang dikenakan. Sebelumnya kita mengincar "Tea Addict" di Jl Gunawarman, namun karena kapasitas tempat yang terbatas, maka pilihan tempat kami alihkan.

Untuk acara bagi 80an peserta ini, kami memesan pilihan buffet paling murah, yang setelah tax & service jatuhnya "hanya" 65K per kepala. Bisa dibilang "hanya", karena harga ini adalah hasil nawar dari paket mereka yang paling murah, lalu pilihan menu yang mereka tawarkan pun ternyata cukup menarik.

Selain itu, fasilitas pendukung acara yang ditawarkan pun cukup komplit, misalnya: video projector dan layar, grand piano, media player (vcd, kaset, dvd gak tau, gak make), sound system dengan tiga wireless microphones, lengkap dengan operatornya, dan hak untuk memakai ruangan selama enam jam!

Menu yang ditawarkan untuk paket murah-meriah tersebut adalah; Sup krim kentang, Salad segar dengan tiga macam dressing, Nasi Wortel, Ayam masak kecap (lupa aslinya), Sapi cah sayur (lupa juga nama aslinya), Makaroni daging cincang, tumis wortel kacang polong, serta dessert berupa Pudding Tape Ketan Hitam, Fruit Coctail, dan minuman berupa Ice Tea, dan Air Mineral (free flow). Service nya full dan sigap; makanan gak pernah kosong, piring kotor juga cepat diangkat, pramusaji yang bertugas juga banyak.

Makanannya sendiri, surprisingly really good. Tadinya dengan harga hasil bargain tersebut kita gak berharap terlalu muluk dari segi kualitas or penampilan, tapi nyatanya rata-rata menu sangat memuaskan. Sup Krim Kentangnya mantap, dan nggak cemplang atau tipis rasanya. Dressing untuk salad nya ada tiga macam, dan masing-masing rasanya juga oke. Nasi Wortelnya nambah nuansa manis pada rasa nasi yang agak gurih, dan nggak mengganggu buat mereka yang nggak suka wortel. Ayam nya sih rada standar, dalam artian bumbu dan rasa sih pas, tapi gw pribadi kurang suka. Sedangkan daging sapi nya, wonderful!!! Sangat firm dan empuk, gak ada yang liat sama sekali, bumbunya juga pas dan meresap tajam. Makaroni nya juga oke, walau gak spesial tapi gak kualitas rendah. Tumis wortelnya? Niceluy done.

Dessert pudding tape ketan hitam nya juga enak, manis asem seger. Coctail buahnya juga walau cuma berisi buah-buahan standar tapi kualitasnya bagus, dan bikinnya apik.

On overall, kita puas sama pelayanan Buzz Cafe kemaren.

Yang jadi masalah disini palingan... ruangan yang terlalu gelap, jadi agak menyulitkan kalau buat foto-foto.

0 comments:

Warung Begor Palupi Jakarta


Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Jl. Bangka I
Jajal Bebek Goreng Palupi!

Sore hari itu, sebenarnya perut saya masih kekenyangan dan mata mulai berat, karena siangnya habis makan di Kafe Solo, Citos, setelah sebelumnya pun ada meeting dengan rekan-rekan penulis.

Namun rasa cape ini segera terabaikan ketika akhirnya saya berhasil menemukan tempat yang dituju untuk acara jajal bareng Epicurina sore hari itu. Tempat yang ternyata bernama "Begor" ini, untungnya masih menyimpan kata "Palupi" di keterangan cabangnya, sehingga saya yakin tempat inilah yang dituju. Pertemuan Epicurina ini adalah pertemuan ulang pertama setelah beberapa lamanya vacuum.

Warung "Begor" yang menempati beranda dari sebuah rumah ini, dinaungi oleh atap kayu, dan menyediakan empat buah meja yang muat untuk sekitar enambelas orang. Hidangan yang tersaji adalah bebek goreng, burung dara goreng, dan tempe-tahu. Karena khawatir tidak cukup untuk diserbu tim Epicurina, maka sayapun bertanya pada pramusaji yang melayani, ada berapa ekor bebek lagi tersisa. Untungnya, walaupun tinggal lima ekor yang tersisa, mereka ternyata masih mempunyai stok di tempat penyimpanan, yang segera dikeluarkan sewaktu saya bilang butuh sekitar sepuluh potong bebek.

Ditemani jus tomat (4K), sayapun mulai bertukaran sms dan telepon dengan rekan-rekan yang berjanji untuk hadir, namun belum kelihatan batang hidungnya. Riawaty (kimi_shuke) ternyata nyasar kearah Cawang, Yohan sedang terjebak macet di tol Jagorawi, sedangkan Catherine dan Endro sedang dalam perjalanan.

Rumah yang sekaligus merupakan sekretariat yayasan keagamaan ini, memiliki ruangan musholla di bagian dalamnya, sehingga ketika waktu sholat tiba, pengunjung muslim bisa memilih untuk sholat di masjid sebelah, atau di musholla di dalam rumah.

Catherine yang datang paling awal memperkenalkan temannya; Hari, yang kemudian ketahuan sebagai penggemar makan juga, sekaligus perally mobil jeep. Ria yang datang bersama anak dan babysitternya langsung membuka acara makan-makan kita sore itu karena rasa lapar yang sudah menggantung.

Untuk perkenalan, dicobalah menu Burung Dara Goreng (12K) yang tinggal satu ekor tersisa, dan seporsi Bebek Goreng (10K) berserta nasi putih (3K).

Burung Dara nya tampil agak kering dan kurang mendapat appraisal dari Ria, terutama karena bumbu yang kurang meresap. Namun Bebek Gorengnya mendapat nilai 8! Padahal Ria ini termasuk pelit dalam memberi nilai.

Bebek Goreng yang hadir dengan ukuran sedang ini, menurut Yohan yang datang kemudian adalah ukuran standar bebek goreng ala Surabaya. Bebeknya digoreng cukup kering sehingga kulitnya agak crispy, namun daging yang masih empuk dan basah. Dengan bumbu yang meresap, dan tulang-tulang kering yang renyah, hidangan ini cukup mendapat acungan jempol dari seluruh peserta, termasuk Enung yang datang terakhir.

Nasi putihnya hadir dengan hiasan bumbu basah berwarna kehijauan di bagian atasnya, yang ternyata cukup untuk meminyaki dan membumbui sepiring nasi tersebut. Rasanya gurih, namun untuk Yohan terlalu kentara rasa MSG nya sehingga agak membuat bergidik.

Sambal yang menemani Burung Dara dan Bebek nya, terdiri dari dua jenis; yang pertama sambal goreng terasi yang pedas manis gurih, mirip sambal goreng Ayam Suharti namun tidak terlalu kering. Sambal lainnya adalah sambal dengan irisan mangga yang pedas segar, membantu menyeimbangkan rasa daging bebek yang gurih.

Walaupun setting tempatnya sederhana, dan pilihan menu terbatas, namun perlu diakui kalau bebek goreng "Begor" layak mendapat penilaian tinggi karena rasa bebek gorengnya yang okehh. So, selain dari Bebek Goreng di Petogogan dan Begor di Bangka I, ada yang punya rekomendasi lain?

6 comments:

Appearances