100% Halal

Menyambung percabangan thread dari topik ini.

100% Halal

Banyak kita jumpai di pusat-pusat keramaian umum, restoran-restoran yang memasang tulisan "100% halal" sebagai embel-embel atas nama restorannya. Alternatif lain, adalah "Halal" saja tanpa kata "100%", namun varian pertama lebih banyak dipakai karena faktor bombastis nya.

Faktor bombastis...?

Secara kaidah bahasa dan hukum, "Halal" itu kalau tidak 100% ya bukan halal namanya! Yang berarti penambahan kata "100%" didepan "Halal" adalah sesuatu yang redundant -- hal yang gak perlu, dan cuma berfungsi sebagai hiperbolisme.

Namun terlepas dari kerancuan dalam pemilihan kata tersebut, yang perlu kita perhatikan lebih serius adalah klaim itu sendiri. Benarkah makanan yang dijual di tempat-tempat tersebut terjamin kehalalannya?

Tanpa bermaksud untuk berburuk sangka terhadap para penyedia jasa restoran, pertanyaan mendasar dalam hal ini adalah... "Seberapa kompeten kah para pengusaha restoran dalam menentukan masalah
kehalalan?". Ini yang perlu kita cermati bersama.

Halal dan Haram

Kehalalan suatu makanan adalah sarat utama dari laik atau tidaknya suatu makanan di konsumsi oleh kaum muslim (penganut agama Islam). Kata "Halal" berarti dibolehkan atau diperkenankan, sedangkan kata "Haram" berarti sebaliknya. Dan dalam penentuan halal-haram ini, diambil beberapa patokan yang bersumber dari kitab suci Islam Al-Qur'an, hadist-hadist shahih, dan pendapat para ulama.

Tanpa beranjak pada pembahasan mendetail mengenai halal-haram, jika kita kaitkan dengan kebiasaan hidup masyarakat modern yang banyak melibatkan kegiatan makan di tempat-tempat umum, maka masalah kehalalan ini menjadi suatu hal yang ambiguous. Jika kita bisa meneliti sendiri kehalalan dari makanan yang tersaji di rumah, maka tidak demikian halnya dengan makanan di tempat umum atau di restoran. Hal ini
menimbulkan masalah pada keduabelah pihak; kepada konsumen, apakah hidangan yang mereka santap terjamin kehalalannya? Dan dari sisi produsen, apakah klaim yang mereka buat memang bisa dipertanggung-jawabkan?

Sebenarnya buat seorang konsumen muslim, karena keterbatasan-keterbatasan teknis yang ada dalam hal makan di restoran, maka ia bisa menilai sendiri suatu masakan yang akan ia santap itu halal atau tidak berdasarkan informasi yang ia dapatkan mengenai makanan yang tersaji. Contohnya, kalau penjual menyatakan bahwa makanan yang akan ia santap tidak mengandung daging babi, mengandung hanya daging ayam, sayuran, nasi, serta makanan tersebut dihidangkan warung milik penduduk pribumi suku Betawi, maka besar kemungkinan makanan itu halal dan laik santap.

Sedangkan pada level pengusaha, untuk bisa mempertanggung-jawabkan klaim yang mereka buat, maka sebaiknya ada pihak yang berkompeten untuk menguji soal klaim kehalalan ini. Hal ini diperlukan karena sifatnya yang terkait dengan masyarakat luas, jadi memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi lagi. Pertama, dalam kebenaran dari klaim itu sendiri, dan kedua, dalam masalah hukum...

Barangkali masalah kehalalan ini melibatkan bahan-bahan makanan yang sulit dikenali kehalalannya secara fisik? Misalnya apakah dalam saus yang ia pakai ternyata ada bahan-bahan yang dinilai tidak halal? Semisal
Hoka-Hoka Bento yang tersandung MUI karena ada "saus misterius" yang dinilai mengandung khamar (minuman keras)? Atau kasus salahsatu produsen MSG bbrp tahun lalu yang dinyatakan haram karena ada unsur yang meragukan, padahal ia tidak memakai bahan2 yang langsung berasal dari hewan babi? Who knows...? Maka dari itu, kalau untuk level usaha yang melayani masyarakat luas, biasanya diperlukan bantuan pihak ketiga untuk menguji (dan memberikan konsultasi) soal kehalalan dari produk yang mereka pasarkan.

Self-Claim?

Kembali ke permasalahan diawal, lantas bagaimanakah kasusnya dengan restoran-restoran atau tempat makan yang mengklaim kehalalan menunya namun dilakukan atas dasar self-claim?

Dalam kasus ini, restoran2 yang memasang label "100% halal" tapi berdasar pada self-claim, sebenarnya mereka berada pada wilayah abu-abu...Di satu sisi mereka menunjukkan niat baik untuk menyediakan
makanan yang berstatus halal, namun di sisi lain mereka belum tentu memiliki ahli yang bisa menjamin klaim ini... Selain itu, mereka juga rentan terhadap tuntutan secara hukum kalau ternyata ada bahan2 tidak halal (yang diluar pengetahuan mereka) turut tercampur dalam makanan yang mereka jual. Maka dari itu pada beberapa kasus, restoran lebih suka memasang label "no pork" atau "tidak mengandung babi", karena hal
ini lebih bisa mereka pertanggung-jawabkan secara hukum dan moral. Sedangkan dari sisi konsumen, kalaupun si restoran memasang "100% halal" namun tanpa dukungan sertifikasi resmi, sebenarnya konsumen tetep berada pada kondisi "eat at your own risk". (bay)

0 comments:

Appearances